Gaya Hidup Hedonis, Budayawan: Pemerintah Harus Perketat Rekruitmen Pejabat

  • Bagikan

Mercubanten, Jakarta - Pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam rekruitmen calon pejabat di kementerian atau lembaga negara menyusul mencuatnya sejumlah kasus pelanggaran hukum dan etik dikalangan pejabat serta keluarganya.

Salah satu kasus besar yang menggerus kepercayaan publik terhadap institusi dimana pejabat itu bertugas. Misalnya saja kasus pembunuhan Brigadir Joshua oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang sempat mencoreng citra Polri.

Baru-baru ini juga terungkap penyamaran laporan kekayaan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak menyusul heboh kasus penganiayaan oleh anaknya yang arogan dan bergaya hidup hedonis terhadap remaja bernama David hingga koma.

Menurut budayawan dan Kepala Prodi S3 Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA, dari sisi moral, pelanggaran dan tindakan kekerasan oleh anak pejabat Pajak tersebut adalah tindakan arogan dan abuse of power.

“Pelanggaran itu mampu menimbulkan erosi kepercayaan atau opini negatif terhadap institusi atau kementerian/lembaga negara. Ketidakpercayaan masyarakat dalam hal ini terhadap kinerja Kementerian Keuangan sangat merugikan Pemerintah,” kata guru besar UNS ini saat dihubungi, Sabtu (25/2/2023).

Untuk menghindari kejadian serupa berulang, dia mengingatkan Pemerintah harus berhati-hati dalam mengangkat pejabat negara. “Rekruitmen tenaga atau pejabat negara harus melalui tes kompetensi yang komprehensif, baik dari aspek kognitif, aspek sosial, dan aspek moralitas dari para calon,” jelas Prof Andrik yang juga disapa Ki Ageng Guru.

Orang yang punya cacat moral, tuturnya, di masa depan dapat melakukan pelanggaran dan pencederaan terhadap lembaga negara melalui sikap dan tindakan yang tidak profesional.

Hal senada disampaikan budayawan Kidung Tirto Suryo Kusumo. Dia mengusulkan kepada pemerintah segera mengevaluasi total dan memperketat seleksi pejabat terutama pada level eselon, baik di kementerian/lembaga, aparat hukum, pemerintah daerah, maupun BUMN.

“Kasus-kasus itu ibarat puncak gunung es, sebab sudah rahasia umum banyak pejabat bergaya hidup hedonis dan arogan. Agar tidak berulang, seleksi pejabat harus lebih ketat, jangan hanya mengukur kompetensi teknis, tetapi harus juga memperhatikan integritas,” ujarnya.

Kidung Tirto menegaskan, evaluasi dan seleksi pejabat tersebut harus segera dilakukan sebelum alam semesta yang bertindak. “Seleksi dan hukuman alam pasti lebih keras seperti kita saksikan pada kasus Ferdy Sambo dan pejabat Pajak itu,” ujar spiritualis asal Gunung Lawu ini.

Dia mengatakan Presiden Jokowi sudah sering mengingatkan para pejabat agar tidak bergaya hidup hedonis apalagi kondisi masyarakat sedang prihatin. Sebab gaya hidup bermewah-mewahan bisa menyeret pada arogansi dan tindakan korupsi.

Kidung Tirto juga mengingatkan para pejabat jangan bermain proyek apalagi dengan melibatkan keluarganya. “Jangan memilih pejabat yang bermain proyek karena mereka cenderung bersikap hedonis dan koruptif,” tegasnya.

Prof. Andrik menambahkan, munculnya gaya hidup hedonis pejabat merupakan ekspresi dari lemahnya pengawasan negara terhadap para pegawainya. “Kejadian yang menimpa David adalah bentuk arogansi dan sikap over confidence dari sebagian oknum pejabat melalui pamer kekayaan dan kekuasaan,” ujarnya.

Dia mengatakan setiap orang punya hak privat dan hak publik. Namun sebagai pejabat negara, seseorang mempunyai tanggung jawab publik. Masyarakat pun berhak mengawasi pejabat publik karena gaji dan fasilitasnya diambil dari pajak rakyat.

Pelajaran yang dipetik dari kasus tersebut, jelas Prof. Andrik, adalah tindakan korektif Pemerintah untuk mengubah pola penegakan disiplin internal yang lebih sosiabel. Yakni sikap gaya hidup sederhana, produktif dan menjaga martabat adalah solusi yang perlu terus-menerus disosialisasikan di kementerian/lembaga negara.

“Kontrol sosial melalui konsep hidup sederhana adalah sebuah solusi yang pernah sukses dijalankan untuk menghindari perilaku hedonis pada oknum pejabat. Boleh jadi, Presiden atau kementerian perlu membangun kontrol sosial yang bersifat edukatif dan metrokatif, agar tindakan dan perilaku melawan hukum dari oknum pejabat negara dapat diminimalisir,” saran Prof. Andrik. (Red)

  • Bagikan