Mercubanten, Jakarta- Gaya hidup hedonis pejabat publik menjadi sorotan tajam masyarakat sejak terkuaknya kekayaan salah satu pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak setelah viral kasus penganiayaan keji oleh anaknya terhadap seorang remaja hingga koma.
“Gaya hidup hedonis merupakan pelanggaran etik bagi pejabat publik dan bisa menggerus kepercayaan masyarakat kepada institusi negara, bahkan pemerintah. Apalagi bagi pejabat negara dan penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung,” ujar budayawan Kidung Tirto Suryo Kusumo, Selasa (1/3/2023).
Menurut dia, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin sendiri sering mengingatkan jajarannya untuk meninggalkan perilaku dan gaya hidup bermewah-mewah atau hedonis. Hal itu sekaligus menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo supaya anggota polisi atau penegak hukum meninggalkan gaya-gaya tersebut, sebab dapat memicu tindakan arogan dan abuse of power.
Kidung Tirto menilai Jaksa Agung sangat tanggap dalam mencegah hedonisme di jajarannya. Sejak tahun 2020, Jaksa Agung telah menerbitkan Jaksa Agung RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penerapan Hidup Sederhana. Instruksi ini mengatur beberapa hal di antaranya menghindari gaya hidup konsumtif dengan tidak membeli / memakai / memamerkan barang-barang mewah.
Instruksi tersebut juga bertujuan menghindari timbulnya kesenjangan dan kecemburuan sosial di media sosial, menyesuaikan dan menyelaraskan setiap perilaku berdasarkan norma hukum dan adat istiadat masyarakat setempat, menolak menerima hadiah/keuntungan, serta menghindari tempat tertentu yang dapat merendahkan martabat/mencemarkan kehormatan institusi.
Tidak heran apabila Jaksa Agung sering mengingatkan jajarannya untuk menerapkan pola hidup sederhana dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat menjalankan tugas.
“Sederhana adalah sikap yang mampu mencegah dari perilaku boros, tamak, dan rakus sehingga perilaku sederhana adalah kunci pengendalian diri untuk membangun integritas institusi,” kata Burhanuddin dalam satu kesempatan.
Kidung Tirto mengatakan instruksi Jaksa Agung tersebut ditindaklanjuti dengan baik oleh jajarannya melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin) dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas).
“Kejaksaan adalah cermin penegak hukum, sehingga marwahnya harus bener-benar dijaga. Jaksa Agung dituntut tegas dalam mencegah pelanggaran etik jajarannya, dan sejauh ini dinilai efektif,” ujar spiritualis asl Gunung Lawu ini.
Pengawasan Lemah
Terpisah, budayawan dan Buru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Dr. Andrik Purwasito DEA mengatakan munculnya gaya hidup hedonis pejabat merupakan ekspresi dari lemahnya pengawasan negara terhadap para pegawainya. Dia menilai instruksi Jaksa Agung itu sangat tepat dan perlu ditiru lembaga lainnya.
Meskipun gaya hidup merupakan hak privat, tutur Kepala Prodi S3 Kajian Budaya UNS ini, seorang pejabat negara juga mempunyai tanggung jawab publik. Masyarakat pun berhak mengawasi pejabat publik karena gaji dan fasilitasnya diambil dari pajak rakyat.
Menurut Prof. Andrik, diperlukan tindakan korektif Pemerintah untuk mengubah pola penegakan disiplin internal yang lebih sosiabel, yakni sikap gaya hidup sederhana, produktif dan menjaga martabat adalah solusi yang perlu terus-menerus disosialisasikan di kementerian/lembaga negara.
“Kontrol sosial melalui konsep hidup sederhana adalah sebuah solusi yang pernah sukses dijalankan untuk menghindari perilaku hedonis pada oknum pejabat. Presiden atau kementerian perlu membangun kontrol sosial yang bersifat edukatif dan metrokatif, agar tindakan dan perilaku melawan hukum dari oknum pejabat negara dapat diminimalisir,” ujarnya.(Red)